1. Hampir Tersesat di Pasar Gede

pixabay

Secara bergantian, Bapak mengajak kami ke kota. Kami empat bersaudara, mungkin repot, bila Bapak membawa empat anak sekaligus. Atau bisa jadi ada alasan lain.

Kami tinggal di desa. Untuk ke kota itu, harus melewati kecamatan, kemudian naik kendaraan umum. Lama perjalanan kurang lebih 30 menit. Bagi kami, anak-anak desa, itu adalah 'plesir' yang berkesan.

Tak seperti biasanya, hari itu, Bapak mengajak kami berdua. Aku dan adikku Qudrotul Bahiroh.

Kami membonceng sepeda jengki keluaran tahun 1980 milik Bapak. Warnanya hijau tua. Ada kelintingannya yang nyaring di depan, di stang kanan. Ada pompa kecil di bawah sadel, agak ke depan. Sepeda yang selalu mengkilap, karena Bapak rajin merawatnya.

Perjalanan menuju kecamatan melewati jalan yang naik-turun. Mirip gunung kecil. Setiap kali menanjak, Bapak turun, kami pun ikut turun. Bapak mendorong sepedanya, dan kami berjalan di belakang beliau.

Oh, ya. Untuk membawa kami berdua, Bapak memakai rombong. Dua wadah dari anyaman bambu yang mirip keranjang. Dulu, orang-orang biasa memakainya untuk mewadahi barang-barang. Bisa pisang, padi, atau dagangan mereka ke pasar. Dengan memakai rombong, barang yang banyak bisa terbawa, meski hanya memakai sepeda.

Kami berdua masuk ke dalam rombong itu.

"Langitnya jalan!" girang adikku.

Aku pun melihat ke atas. Rasanya agak pusing. Kami hanya mendengar suara orang bicara, motor, mobil, dan apa saja yang kami lintasi. Penglihatan tertutup oleh ketinggian rombong. Pada saat turun di tanjakan, itulah saat merasa bebas bernapas dan melihat.

Sampai di kecamatan, Bapak menitipkan sepeda di rumah teman beliau. Kami berjalan ke terminal. Menunggu bus kecil, berpintu dua.

"Cilacap-Cilacap-Cilacap!" seru seorang kernet.

Kami segera naik. Masih ada kursi kosong. Aku duduk terpisah dari Adik dan Bapak. Saat itu, aku sering menoleh ke arah Bapak. Takut jika sewaktu-waktu, beliau turun, dan aku tidak tahu. Khawatir, bila mendadak aku tertidur, dan semua penumpang sudah tidak ada.

"Kiri!" teriak Bapak.

Kami turun. Kami jalan-jalan. Entah apa nama tempatnya saat itu, yang jelas, ada gajah, simpanse, dan monyet di sana. (Bagian ini ada cerita tersendiri). Hal yang paling kuingat, adalah saat ada seorang nenek penjual kacang rebus. Beliau sedang mewadahi dagangannya ke dalam 'pincuk' daun, lalu seekor gajah mendekat. Nenek itu bangkit, dan segera menjauh dari binatang berbelalai panjang.

Jalan-jalan lanjut ke Pasar Gede. Bapak bilang, "Ke warung makan milik teman Bapak, yuk!"

Aku patuh. Adikku hanya ikut saja.

Sampai di Pasar Gede, suasana sangat ramai. Pengunjung berhimpitan untuk bisa masuk pasar. Di dalam pasar, orang-orang berseliweran. Aku memegang tangan bapak dengan kuat.

Aku menoleh ke kiri. Adikku tidak ada.

Tengok kanan. Tidak ada.

Tanganku terlepas dari genggaman Bapak.

Bapak berjalan cepat.

"Pak! Pak! Itu Iroh ikut orang!" teriakku seraya menyebut namanya.

Bapak menoleh. Beliau mengejar adikku. Bapak meraih tangan Adik.

Hampir saja, adikku tersesat di pasar gede.

Comments