2. Mega dan Guntur, Katanya Pergi

Dulu, aku hampir tidak pernah bersedih. Aku dan adik-adikku Qudrotul Bahiroh dan Urwatul Mutmainah senang bermain apa saja, meski tidak didampingi orangtua. Memanfaatkan apa saja sebagai permainan. Karenanya lah aku yakin, anak-anak masa itu sangat kreatif. Alam memberi apa yang dibutuhkan. Misalnya untuk boneka, aku bisa memakai pelepah pisang yang dipotong dan bentuk sedemikian rupa. Sering banget pakai kain jarik yang diuwel-uwel, ditekuk, dan diikat sehingga bentuknya dianggap menyerupai boneka.

Aku tidak banyak mengenal binatang secara langsung. TV memberitahu nama-nama binatang. Gajah adalah binatang yang paling asing bagiku. Rasanya seperti mendapat sekantong permen, ketika Bapak berjanji bahwa kami akan melihatnya.

Aku menunggu hari yang dijanjikan. Tidak ada tiga hari, rasanya seperti satu tahun. Saat malam, aku sering terbangun. Berharap segera pagi, dan berganti hari. Bila sedang bermain, aku teringat janji Bapak.

“Eh, aku mau lihat gajah lho,” girangku kala itu.
“Di mana?” tanya teman.
“Di Cilacap,” jawabku yakin.

Percakapan itu sering terjadi pada waktu aku bermain. Teman-teman bahkan belum ada yang pernah ke sana. Mereka belum melihat gajah. Pikiranku hanya ingat surat Al-Fiil. Apakah gajah itu sama dengan gajahnya Raja Abrahah? Bahkan aku belum pernah melihat gambar gajahnya Raja Abrahah. Cerita yang kudengar juga tidak menyebutkan ciri-cirinya. Bagaimana aku bisa tahu nanti, jika gajahnya mirip? Begitulah pikiran anak-anak, melompat-lompat dan kadang aneh.

Hingga akhirnya hari itu tiba.
Aku melihat gajah yang sebenarnya.

Binatang yang telinganya lebar seperti daun jati raksasa. Ada yang memiliki gading, ada yang tidak. Telinganya terus bergerak-gerak. Belalainya juga. Gajahnya hanya ada dua. Mungkin, satu jantan, satunya betina. Mereka juga bisa dinaiki.

“Apa kamu mau naik?” tanya Bapak.

Aku merasa ragu. Takut. Deg-degan. Dan hal itu membuat kepala ini jadi menggeleng. Aku melihat, ketika gajah akan duduk, seorang bapak memukulkan sesuatu di kepalanya. Apa tidak sakit ya? itu palu, atau apa? Karena melihat dari jauh, aku tidak bisa memastikan benda yang dipakai untuk memukul kepala gajah.

Hari sudah berganti.

Sepulang dari melihat gajah, aku ceritakan semua pada siapa saja. Mungkin Mamak terbengong-bengong mendengar ceritaku. Sering diulang-ulang sih. Teman-temanku, yang sebagian besar anak laki-laki, juga kagum dengan ceritaku. Mereka bertanya apa saja. Warnanya apa, makannya apa, mandi apa enggak, kamu naik apa enggak? Dan banyak pertanyaan yang kadang aku tidak tahu jawabannya. Saat aku tidak tahu, aku hanya menjawab, “Kayaknya sih ....” Aku pikir, mungkin sebaiknya mereka datang sendiri. Tapi, katanya, bapak mereka tidak memiliki banyak uang. Bapakku juga tidak banyak uang. Mungkin. Setahuku, Bapak memiliki uang saat menjual padi, itu juga sangat jarang.

Sepekan berlalu.
Aku sudah tidak semangat bercerita tentang gajah lagi. Aku memilih mendengar sandiwara radio. Radio saat itu sangat besar. Bukan yang ada di HP seperti saat ini. Ukurannya separuh laptop besar, dan badan radio itu gendut. Waranya hitam. Ada antenanya yang bisa dilepas. Antena itu sering dipegang Bapak.

“Mega dan Guntur telah pergi.”

Aku mendengar satu berita dari radio. Saat itu, Bapak juga ikut mendengar. Aku masih kesulitan memahami isi berita. Ternyata, Bapak tahu kalau aku bingung. Beliau pun menceritakan isi berita. Berita yang membuatku kembali ingat akan dua gajah yang pernah kulihat.

“Mega dan Guntur itu nama gajah yang kamu lihat. Mereka sudah mati.”

Sekali itu, aku merasa sangat bersedih. Sangat sedih. Aku tentu tidak bisa ke sana lagi. Kalaupun ke sana, aku tidak bisa melihat gajah. Apakah, binatang itu kurang makan?

Aku jadi ingat, saat itu, gajah makan apa saja. Bahkan pisang mentah yang disodorkan seseoarang. Iya. Tampak sangat kelaparan. Atau, gajah itu diracun? Siapa yang meracun. Pertanyaan-pertanyaan terus ada di pikiran ini. Aku tidak mendapat jawaban, karena hanya bertanya pada diri sendiri. Aku ingin bertanya pada Bapak, atau Mamak. Tapi, aku yakin mereka juga tidak tahu. Yang aku tahu, semua memang akan pergi. Meninggalkan dunia ini. Mati. []

Pondok Cahaya, Yk, 12 Mei 2017

Comments