Inilah Akibat Tidak Meletakkan Barang di Tempatnya

pixabay

“Kang, aja mati disit. Utange dewek urung lunas,”
Ratri menggenggam tangan suaminya. Laki-laki di depannya masih terbujur diam. Napasnya begitu lemah. Wajahnya sepucat mayat. Syukur, dia langsung tertolong. Ada tetangga yang melarikannya segera ke tempat ini.

Di belakang Ratri ada tiga anak yang wajahnya bingung. Wajah paling bingung ada pada raut anak pertama. Bukan karena dia mendengar keluhan mamaknya. Sebagai anak sulung, bisa jadi, dia yang bertanggungjawab untuk melunasi hutang bapaknya, jika meninggal.
Meninggal? 
Aneh sekali. Bukankah urusan mati hanya ketentuan yang di atas? Seingin apapun seseorang menyegerakan berhentinya detak nadi, jika belum waktunya tidak bisa diajukan. Dan betapapun besar penolakan pada maut, jika sudah waktunya maka tidak bisa ditunda, meski sedetik saja.

*** 

“Bit, jadi orang mbok jangan suka meletakkan benda sembarangan. Kamu lihat tuh, sepatu di dalam kamar, kunci motor di atas kulkas, baju baru dipakai ditaruh bareng mukena bersih. Kalau baru pulang kerja, duduk diam dulu. Lepas semua dan taruh di tempatnya. Masa anak Mamak sudah 19 tahun, kok dinasihatin seperti anak lima tahun?!”
Anak yang dipanggil ‘Bit’ itu bernama Sabit. Kebiasaannya bukan terjadi begitu saja. Bapaknya juga memiliki kebiasaan sama. Dan mungkin, apa yang dilakukan Sabit adalah kontribusi nyata, contoh langsung dari bapaknya.
Sabit tidak menyahut. Tidak juga mengindahkan teguran mamaknya. Dia langsung membuka tudung saji, tanpa mencuci tangan, apalagi kaki. Bunyi kruwuk-kruwuk perutnya lebih diutamakan. Lainnya nanti gampang, dikerjakan kalau sudah kenyang. Begitu pikirnya setiap kali mamaknya bawel.
Dampak dari ketidaktertiban Sabit kerap membuat seisi rumah kelimpungan. Terutama bila mereka mencari barang-barang yang biasa dipakai bersama. Sapu, lap pel, pisau, bahkan sendok.
Benda terakhir pernah raib semua dari wadahnya. Kata Ratri, sendok yang diletakkan dalam wadah jumlahnya lebih dari selusin. Aneh kalau sampai tidak ada. Ternyata ketika Ratri beres-beres dan bersih-bersih, dia menemukan sendok di kolong tempat tidur Sabit, di sela-sela sofa, di bawah bantal Sabit, dan tempat aneh lain yang digunakan untuk meletakannya sesuka hati Sabit.
Dari kebiasaan buruk itulah semua cerita bermula. Cerita yang membuat Sabit memaksa dirinya untuk meletakkan sepatu di rak sepatu, baju kotor di keranjang cucian kotor, kunci motornya di gantungan depan pintu masuk rumah ini.
Siang itu, Sabit baru saja selesai mengelus-elus motornya. Mamaknya sedang keliling kampung menjajakan daster ke rumah-rumah tetangga. Kadang juga menagih hutang, bagi yang mengambil barang jualan milik mamak.
Sabit bersiul-siul. Wajahnya sumringah. Beberapa kali pandangannya seperti melamunkan seorang gadis, atau membayangkan wajah manisnya melintas persis di depan matanya. Tapi, tidak ada yang tahu persis, apa yang dia bayangkan. Atau setidaknya, hal apa yang membuatnya senyum-senyum sendiri.
Setelah melihat kendaraan roda duanya kinclong, Sabit berjalan sambil meletakkan alat-alat bengkel, di sembarang tempat. Dia juga menuju kulkas, di sana ada minuman yang paling menyegarkan, sebotol lemon bercampur madu yang bisa memulihkan tenaga.
Di dekat kulkas ada meja kayu jati warisan mbak kakung. Tanpa cat, dan warnanya menunjukkan kayu sangat tua. Meja itu berukuran besar. Selain tudung saji, ada beberapa termos ada di atasnya.
Sabit meletakkan botol yang dia bawa dari halaman rumah. Keringatnya bercucuran. Wajahnya lebih sumringah setelah meneguk minuman favoritnya. Ketika meletakkan ke kulkas, Sabit justeru menaruh botol yang dia bawa dari halaman. Botol berisi lemon madu sudah kandas. Dia meletakkan sambil berjalan, di dekat wadah oli, dan shampo pencuci motornya.
Sabit langsung pergi dengan motornya entah ke mana. Hari itu sedang libur kerja, mungkin ke rumah teman, atau main sepak bola di pinggir kali. Atau bisa jadi hanya menjalankan motor keliling kampung, dan balik lagi ke rumahnya. Hitung-hitung memamerkan body kinclong motornya pada semua orang yang melihat.
Dari arah yang berbeda, bapaknya berlumur lumpur. Kaki, tangan, baju, dan memercik ke muka. Cangkul di undak dan caping mewartakan bahwa dia baru saja pulang dari sawah.
Tanpa pikir panjang, bapak langsung cuci tangan dan cuci kaki. Dia menuju kulkas untuk mencari minuman yang menyegarkan juga. Lemon madu. Jakunnya sampai naik-turun saat membayangkan meminumnya sambil jalan.
Aha! Itu dia sebotol berisi cairan warna khas lemon. Tapi, kali ini agak berbeda. Dan bapak tidak mengetahui di mana letak perbedaannya. Dalam pikirannya hanya ada satu hal, menenggaknya sampai habis. Yang lain enggak kebagian kan Ratri bisa bikin lagi.
Prang!
Tubuh laki-laki itu terjerengkang. Perutnya langsung panas, dan kepala berdenyut hebat. Badannya gemetar, semua terlihat berputar. Ada seorang tetangga mau bertamu, dia mendengar suara prang diiringi bunyi gedubluk, dia langsung masuk dan mendapati tubuh bapaknya Sabit kejang-kejang.
“Welah. Kenangapa, Kang?”
Dia memapah bapaknya Sabit ke atas sepeda motor. Diikatnya dengan tambang yang biasa digunakan mengikat goni, dan selalu ada di motornya. Mereka langsung menuju selatan, ke arah puskesmas.

***

Sabit menunduk dalam. Dia seolah ingin membenamkan wajahnya ke mana saja. Lantai, saku celana, dalam pot, atau ke mana pun yang penting tidak ada orang bisa melihatnya. Kebiasaan buruk hampir saja melenyapkan orang yang dihormatinya. 


#ODOP
#BloggerMuslimahIndonesia

Comments