Sun Yi (Kenangan Bersama Bapak)

Udara dingin menyelinap melalui pori-pori dinding bambu. Cahaya lampu minyak menerangi beberapa sudut rumah kayu. Sun Yi berdiri di ambang pintu ruang tengah, menuju dapur. Dilihatnya api lampu minyak yang bergoyang-goyang tertiup angin. Dulu, dulu sekali dia dan adik-adiknya sering berebut lampu itu, kadang sampai torongnya pecah, dan semua bergantian saling tatap. Saling menyalahkan.


"Kamu sih enggak mau ngalah."

"Kamu!"

"Kamu! Weee!"

Suara ribut-ribut itu akan berhenti saat Bapak datang, dan memadamkan api yang mulai malas menyala.

"Woh. Gelap semua."

"Kamu sih. Coba tadi langsung ambil torong. Kan enggak gelap."

Bapak memainkan cahaya senter. Kadang menyorot wajah Sun Yi, atau adiknya secara bergantian. Senter selalu ada bersama Bapak. Benda yang memiliki tiga baterei ukuran besar itu terbuat dari stainles.

"Kamu sudah wudhu?"

Pertanyaan Ibu menyeret Sun Yi dalam sadar. Dia menoleh, dan kembali menatap lampu minyak di depannya.

"Bapak, Bu. Bapak. Cepat sekali beliau pergi. Sun Yi belum membuatnya bahagia."

"Semua yang hidup, akan mati. Kepergian manusia, tetap misteri. Sekarang, coba ikhlaskan. Berdoa sebaik-baik doa untuk Bapak.

Sun Yi menarik tubuhnya yang tadi bersandar pada sisi kiri gawangan pintu
 Dihelanya napas panjang-panjang. Napas yang beberapa hari lalu terasa sakit hingga ulu hati ketika dihela.

Dia melangkah menuju sumur. Suara derit pintu mengakibatkan orong-orong berhenti menyanyi. Sampai di luar, desau daun-daun bambu melagukan gemerisik. Gesekan batangnya mengkriet pelan. Langkah sendak jepit Sun Yi terdengar jelas.

Jarak sumur sekitar tiga meter dari rumah. Sun Yi harus keluar, jika mau berwudhu, ata melakukan aktivitas apa saja yang membutuhkan air. Sumur dipagari dengan tembok bata bersemen, tanpa cat. Tingginya hanya separuh badan, lebih sedikit. Sekita 90 centi meter, mungkin. Ada bambu yang menopang atapnya. Untuk mandi di tempat itu, Sun Yi menunggu hari gelap, atau bila pagi, dia sudah mandi saat hari masih gelap. Seperti sekarang. Dia akan wudhu, sekaligus mandi.

Dulu, tembok sumur hanya pohon teh-tehan. Siapa saja yang lewat, akan tahu aktivitas orang di dekat sumur. Bak mandinya kecil, setinggi lutut Sun Yi. Bak itulah yang biasanya diisi ikan oleh Bapak.

Saat banjir, bak meluap. Sun Yi dan adik-adiknya berebut berendam di sana. Bapak sibuk mengangsu air denfan ember kecil, memindahkannya dari sumur ke rumah.

Banjir.

Saat itu, semua anak-anak bersuka ria. Mereka melihat batang-batang pohon yang hanyut seperti perahu. Saat air mulai surut, Bapak mengeruk tanah lumpur dengan cangkul. Sun Yi dan adik-adiknya asyik menangkap udang kecil dengan seser.

Setiap tempat di rumah itu, selalu menyembulkan kenangan bersama Bapak. Tal bisa seorang anak lupa pada bapaknya. Tak bisa.

***

Sun Yi ingat kalimat adik keduanya lagi. Kali ini, ia berjuang untuk memaafkan dirinya.

sebab manusia berkarib alpa
jika salah sudutkan rasa
terkungkung ia dalam nestapa

buka pintu maaf
untuk diri sendiri
biar kisah baru mengisi hari
setelah Bapak pergi

#ODOP
#BloggerMuslimahIndonesia

Comments